Kunjungan Presiden RI, Joko Widodo ke Lubuk Linggau turut dijadikan momen oleh Komunitas Pers Bersatu Bersama Jurnalis (BBJ) Media Group dalam menyampaikan aspirasi para jurnalis terkait penolakan RUU Penyiaran yang dinilai melemahkan demokrasi, Kamis (30/5/2024).
Protes tersebut berupa pemasangan spanduk dimana Jokowi diprediksi akan melintas, yakni di Kelurahan Belalau Kecamatan Lubuk Linggau Utara 1 karena Jokowi direncanakan melintasi jalan tersebut menuju Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara).
“Kita tidak melakukan aksi. Hanya berupa pemasangan spanduk saja. Tentu harapannya pemerintah melihat, terutama Presiden Jokowi, agar tidak ikut-ikutan meloloskan revisi RUU Penyiaran, karena itu merupakan upaya pembungkam kebebasan pers,” tegas Pranata.
“Jadi paling tidak, kunjungan Jokowi ke Lubuk Linggau mendapati banyak hasil, terutama aspirasi terkait penolakan RUU Penyiaran,” tambahnya.
Sebelumnya, pria yang memang aktif di dunia jurnalistik sejak 2013 ini, memang gencar menyampaikan penolakan terkait RUU Penyiaran, sebab dinilai ada prosedur yang salah dalam penyusunan RUU Penyiaran. Ditambah, proses yang salah ini, disertai pula dengan munculnya pasal-pasal aneh yang tidak se-prinsip dengan kemerdekaan pers.
“Misalnya yang menjadi sorotan semua rekan-rekan jurnalis, yakni di pasal 50b ayat 2c, karena secara spesifik melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” kata dia.
Menurutnya, UU Pers 40 Tahun 1999 sudah diatur bahwa kerja pers dilindungi oleh UU. Maka tentu RUU Penyiaran bertentangan dengan hal itu. Menurutnya, pelarangan ini juga jelas berpotensi membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.
“Ini juga melanggar kepentingan publik, karena haknya publik untuk tahu adalah hak asasi manusia. Tugas itu amanah dan dititipkan kepada jurnalis,” jelasnya.
Masalah lain, ialah Pasal 42 ayat 2 yang memberikan kewenangan lebih kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik penyiaran.
“Di pasal itu KPI bisa menangani sengketa. Itu barang tentu bertentangan dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers, sebab dimana fungsi dari Dewan Pers menyelesaikan sengketa pers. Jadi disini ada tumpang tindih. Ada banyak sekali pasal dalam RUU Penyiaran yang bermasalah,” jelasnya.
Ditambah, menurut Pranata ada lagi masalah terkait hilangnya aturan terkait kepemilikan media. Ia menilai ini merupakan pasal yang membahayakan demokratisasi konten, termasuk juga kedepan akan mengancam perlindungan terhadap kelompok minoritas.
“RUU ini berpotensi mengancam independensi jurnalis dan media. Revisi ini dapat digunakan untuk menekan media agar berpihak kepada pihak-pihak tertentu. Merusak independensi media dan keberimbangan pemberitaan, seperti termuat dalam draf Pasal 51E,” tegasnya.
Pranata menegaskan, BBJ Media Group sebagai komunitas pers menuntut dan menyerukan, agar memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.
“Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Kami menduga RUU Penyiaran ini bakal jadi alat pemerintah untuk melemahkan praktik demokrasi di Indonesia. Patut diduga juga menjadi upaya pemerintah untuk membangkitkan semangat Orde Baru. Kalau dulu Orde Baru menggunakan militer dan aparatur keamanan sebagai alat untuk membungkam. Kami menduga metode ini berubah dengan membatasi ruang gerak melalui undang-undang. Dengan adanya revisi UU Penyiaran ini yang kemudian isinya melarang jurnalisme investigasi dan sebagainya, tentu sangat dicurigai akan ada upaya-upaya agar masyarakat tidak kritis terhadap pemerintah,” tegasnya. (*)